You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Links

.

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

AL-QUR'AN ONLINE

Minggu, 17 April 2011

PENGANTAR Pujian dan sanjungan hanya hak dan milik Alloh yang telah berfirman : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam : 115). Benar dalam seluruh beritanya dan adil dalam setiap perintah dan laranganNya.
Sholawat dan salam bagi kekasih Ar Rohman; Muhammad bin Abdillah yang telah bersabda : “Barangsiapa yang dikendaki baiknya oleh Alloh Ta’ala, maka Dia Ta’ala akan memfaqihkan dia pada agama”.
Tulisan yang akan kami sajikan kehadapan pembaca merupakan kitab fiqih dalam Madzhab Imam As Syafi’i rohimahulloh, yakni kitab FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB . Kami akan tampilkan secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya saya berharap bisa memberikan gambaran secara utuh lagi umum tentang fiqih Madzhab. Amin.

Metode yang saya kerjakan sangatlah sederhana, yakni :

  1. Menterjemahkan kitab, dengan memberi tanda […] pada matan asli yakni kitab At Taqriib dan membiarkannya tanpa tanda […] untuk terjemah syarh/penjelasan.
  2. Memberi catatan pada beberapa kalimat yang Alloh Ta’ala taqdirkan mudah bagiku. Catatan ini terkadang berupa
    a. Menyebutkan pengertian dan penjelasan ringkas.
    b. Penyebutan dalil yang menjadi saksi bagi permasalahan atau pendapat tersebut.
    c. Penetapan pendapat yang kuat pada suatu permasalahan, hal ini dilakukan ketika pendapat madzhab merupakan
    pendapat lemah secara tinjuan dalil  dan alasan.
Demikian pengantar ini saya sampaikan, semoga pekerjaan ini menjadi amal sahalih bagi penulis, pensyarah, penerjemah dan seluruh pembaca. Amin.
Sholawat dan salam bagi Rosululloh, keluarga, sahabat dan seluruh manusia yang menempuh sunnah-nya. Aamiin.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikh[1] Al Imam[2] Al ‘Alim Al ‘Alamah[3] Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim As Syafi’i -Semoga Alloh melimpahkan rahmat dan keridlhoannya[4], amin- berkata :
Seluruh pujian hanya hak Alloh, memulainya dengan hamdalah karena berharap berkah, karena merupakan permulaan setiap urusan yang penting, penutup setiap puji yang diijabah, dan akhir ungkapan orang-orang mu’min di surga, kampung pahala. Aku memujiNya yang telah memberikan taufiq kepada setiap yang Dia kehendaki dari kalangan para hambanya, untuk tafaquh di dalam Agama sesuai dengan yang dikehendakiNya.  Aku bersholawat dan memohonkan keselamatan bagi makhluk termulia, Muhammad penghulu para utusan, yang bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّهُ بهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikannya maka Dia Ta’ala akan memahamkannya pada agama” (HR. Bukhori[71], Muslim[1037]), demikian pula sholawat dan salam bagi seluruh pengikut dan sahabatnya, selama ada orang-orang yang berdzikir dan adanya orang-orang yang lalai.
Kemudian, kitab ini sangatlah ringkas dan runtut, kitab ini saya berinama At Taqrib, dengan harapan para pemula bisa mengambil manfa’at dalam masalah cabang syari’at dan agama, dan supaya menjadi media bagi kebahagiaanku pada hari pembalasan, serta bermanfa’at bagi para hambanya dari orang-orang Islam. Sesungguhnya Dia maha Mendengar permintaan hambanya, Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan, orang yang memaksudkanNya tidak akan sia-sia “Jika hambaku bertanya kepada mu, maka sesungguhnya Aku sangatlah Dekat”. (QS. Al Baqoroh : 186).
Ketahuilah!, dalam sebagian naskah kitab pada muqoddimahnya terkadang penamaanya dengan AT TAQRIB dan terkadang pula dengan GHOYATUL IKHTISHOR, oleh karena itu saya pun manamainya dengan dua nama, pertama FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB, kedua AL QAUL AL MUKHTAR FI SYARHI GHOYATIL IKHTISHOR.
***
As Syaikh Al Imam Abu Thoyyib, dan terkenal pula dengan nama Abi Suja’ Syihabul millah wad dien Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Al Ashfahaniy[5] –semoga Alloh memperbanyak curahan rahmat dan keridlhoan kepadanya, dan menempatkannya di surga tertinggi– berkata:
[Bismillahirrohmaanirrohim] Aku memulai tulisan ini[6], Alloh[7] merupakan nama bagi Dzat Yang Wajib Adanya ‘wajibul wujud’[8]. Ar Rohman lebih menyampaikan daripada Ar Rohim[9].
[Al Hamdu] merupakan pujian kepada Alloh Ta’ala dengan keindahan/kebaikan disertai pengagungan[10]. [Robbi] yaitu Yang Maha Menguasai. [Al ‘Aalamin] dengan difatahkan, ia sebagimana pendapat Ibnu Malik : Kata benda jamak yang khusus digunakan bagi yang berakal, bukan seluruhnya. Kata tunggalnya ‘aalam dengan difathahkan huruf lam, ia merupakan nama bagi selain Alloh Ta’ala[11], dan jamaknya khusus bagi yang berakal.
[Dan sholawat Alloh] serta salam [atas pengulu kita, Muhammad sang Nabi] ia dengan hamzah dan tidak dengan hamzah[12] adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan syari’at yang dia beramal dengannya walaupun tidak diperintahkan menyampaikannya, maka jika diperintahkan menyampaikan maka dia Nabi dan Rosul. Maknanya curahkanlah sholawat dan salam kepadanya. Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maf’ul al mudlho’af al ‘ain. Dan Nabi merupakan badal dari[nya[13]] atau ‘athof bayan.  [Dan] bagi [keluarganya yang suci], mereka sebagaimana diungkapkan As Syafi’i : Keluarganya yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Al Mutholib, dikatakan dan An Nawawi memilihnya : Mereka adalah seluruh orang muslim. Mudah-mudahan perkataanya ath thohirin diambil dari firmanNya Ta’ala : “dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al Ahzab : 33). [Dan] bagi [para sahabatnya], ia jamak dari shohibun nabi[14]. Dan perkataanya [seluruhnya] merupakan takid ‘penegas’ dari shohabat.
Kemudian penulis menyebutkan bahwa dia menulis ringkasan ini karena suatu permintaan, dalam perkataannya : [sebagian ‘al asdhiqo’ sahabat-sahabtku memintaku], ia jamak dari shodiiq. Dan perkataanya : [semoga Alloh Ta’ala menjaga mereka], ia merupakan kalimat du’a. [supaya aku membuat suatu ringkasan], ia adalah sesuatu yang sedikit lafadznya dan banyak maknanya [dalam fiqih], ia secara bahasa bermakna pemahaman, adapun secara istilah adalah pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’iyah ‘amaliyah yang diusahakan dari dalil-dailnya yang rinci. [Madzhab Al Imam] yang mulia, mujtahid, penolong sunnah dan agama, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin Syafi’i. [Asy Syafi’i] dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan wafat [semoga kepadanya tercurah rahmat dan keridlhoanNya] hari Jum’at akhir bulan Rajab tahun 204 H.
Penulis mensifati ringkasannya dengan ragam sifat, diantaranya [pada puncak ringkasan dan akhir rangkuman] dan kata-kata al ghoyah dan nihayah memiliki kedekatan makna, demikian pula al ikhtisor dan al ijaz, diantara sifatnya pula [mendekatkan pemahaman pada pelajar] kepada cabang fiqih [untuk mempelajarinya dan mempermudah para pemula untuk menghafalnya] yakni menghadirkannya dari hafalan bagi orang-orang yang berkeinginan menghafal ringkasan ilmu fiq. [Dan] sebagian sahabat meminta pula supaya aku [memperbanyak didalamnya] yakni di dalam ringkasan tersebut [pembagian-pembagian] ahkam fiqhiyyah [dan] dari [membatasi] yakni seksama [dalam menentukan] yang wajib, mandzub dan selain keduanya. [Maka aku berkeinginan mengabulkan pada] permintaannya karena [mengharap pahala] dari Alloh Ta’ala atas usaha menulis ringkasan ini. [Harapan hanya kepada Alloh yang maha suci lagi maha tinggi] di dalam bantuan –dari keutamaanNya– untuk menuntaskan ringkasan ini, dan [harapan pula hanya kepada Alloh, untuk mendafatkan taufiq pada kebenaran], ia merupakan lawan dari salah. [SesungguhNya] Ta’ala [atas segala sesuatu yang dikehendakiNya[15]] yakni diinginkannya [Maha Mampu] yakni Maha Sanggup [dan Dia kepada para hambanya Maha Lembut lagi Maha Mengetahui] keadaan para hambanya. Yang pertama diambil dari firmanNya Ta’ala “Alloh Maha Lembut kepada para hambanya” (QS. Asy Syuro : 19), yang kedua diambil dari firmanNya Ta’ala “Dan Dia Maha Bijaksana lgi Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 18), al lathif dan al Khobir merupakan dua nama diantara nama-nama Alloh Ta’ala. Makna yang pertama ‘al lathif’ yang mengetahui segala sesuatu secara detil dan permasalahan-permasalahannya, ia kadang dimutlakan pula pada makna Maha lembut kepada mereka, maka Alloh Maha Mengetahui tentang para hambanya dan tempat-tempat kebutuhan/kehendak/keinginan mereka lagi Maha lembut kepada mereka. Makna yang kedua memiliki kedekatan makna dengan yang pertama, dikatakan : khobartu asysyaia akhbarohu fa anaa bihi khobiirun, yakni mengetahui.
***

 
[1] Syaikh merupakan masdar dari syaa-kho, dikatakan syaa-ko – yasyii-ku – syaikhon, ia secara bahasa orang yang telah melewati usia empat puluh tahun. Manusia selama berada di perut ibunya dinamakan janin, karena tersembunyi dan terhalanginya, setelah dilahirkan disebut athiflu, dzuriyyah, dan shobiy. Setelah baligh disebut syaab dan fataa. Setelah usia tigapuluh tahun disebut kahul. Setelah empat puluh tahun jika laki-laki disebut syaikh, dan bila perempuan disebut syaikhoh. Adapun secara istilah adalah orang yang telah mencapai kedudukan oranr-orang yang memiliki keutamaan, walaupun masih anak-anak. (Lihat Hasyiyah Baajuuriy Qosim, Daaru Ihya al Kutub al ‘Arobiyyah, h. 3).
[2] Secara bahasa al muttaba’ (yang diikuti), adapun secara istilah orang yang sah untuk dijadikan contoh. (ibid).
[3] Maknanya yang memiliki banyak ilmu. (ibid).
[4] Beliau wafat pada tahun 918 H.
[5] Qodiy Abu Suja lahir pada tahun 434 H (1041 M), dan wafat tahun 592 H (1197 M) semoga Alloh merahmati dan meninggikan derajatnya, Amin
[6] Penulis rohimahulloh memulai risalahnya dengan bismillah karena :
  1. Mengikuti kitab Alloh Ta’ala, ia merupakan ayat pertama dari surat al Fatihah, bagian dari surat an Naml dan merupakan ayat mustaqillah dari surat-surat yang lainnya; yakni sebagai pemisah diantara surat, kecuali antara surat al Anfal dan surat Al Baroah.
  2. Mengikuti sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, sebagimana dalam sahih al Bukhori hadits dari Abi Sufyan tentang surat baginda sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada pemdesar negeri Romwai, demikian pula hadits Miswar tentang perjanjian Hudaibiyah.
  3. Mengikuti kebiasaan para Imam dalam menulis kitab dan risalah, demikian diungkapkan Ibnu Hajar Al Asqolaniy dalam Fathul Bari Syarh Sahih Al Bukhori[6].
Adapun hadits yang menyebutkan : “Setiap urusan penting yang tidak diawali dengan bismillahirrohmanirrohim maka terputus” dan yang semakna atau semisal dengannya maka haditsnya Dlhoif/lemah. Diantara yang menghukuminya Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, As Syakhowiy dan yang lain-lainnya.
Hukum Membaca Bismillah.
Ia terbagi pada hukum yang lima :
  1. Sunnah dalam segala urusan yang memiliki nilai penting, kita tidak menyandarkannya pada hadits di atas, namun sebagai bentuk ikutan pada perbuatan Rosul dan kebiasaan para ulama; pewaris para nabi. Dan yang pertama menulis kalimat bismillahirrohmanirrohim secara lengkap pada permulaan risalah/surat nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
  2. Haram tatkala akan mengerjakan sesuatu yang haram secara dzatnya, seperti tatkala akan minum khomr/minuman memabukan, zina dan lain sebagainya. Bahkan dikhawatirkan riddahnya karena ada bentuk pelecehan pada kalimat bissmillah itu sendiri.
  3. Makruh tatkala akan mengerjakan yang makruh secara dzatnya, seperti tatkala mau merokok bagi yang berpendapat makruhnya. Atau tatkala akan melihat kemaluan istrinya menurut madzhab; namun pendapat ini lemah, akan datang penjelasannya pada Kitab Nikah insya Alloh.
  4. Wajib ketika sedang sholat, karena ia bagian dari surat al Fatihah.
  5. Mubah ketika akan mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki nilai penting, seperti ketika akan memindahkan barang dan yang lain-lainnya.
Demikianlah diantara penjelasan yang disampaikan sebagian para ulama, semoga Alloh merahmati yang telah meninggal dunia, dan menjaga yang masih di hidup di alam fana.
[7] Lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq, yakni  nama yang paling diketahui disemua tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun mengerti tentang siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta, Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah. Dikatakan pula lafadz الله  merupakan ismun ‘a-dzom, karena ia merupakan nama yang paling banyak disebutkan di dalam al Qur’an, atau karena setiap nama yang datang setelahnya merupakan sifat baginya.
[8] Sebagaimana telah diketahui oleh para pencari ilmu, tatkala kita beriman kepada Alloh maka kita menetapkan adanya Alloh Ta’ala, maka ketahuilah bahwa adanya Alloh Ta’ala wajibul wujud li dzatihi, yakni tidak didahului dengan ketiadaan dan tidak diakhiri dengan ketiadaan I. Dia Y merupakan wajibul wujud lidzatihi [ini bab khobar], berbeda dengan makhluk, karena adanya makhluk bukan-lah sesuatu yang wajib dan bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena, andaikan saja adanya makhluk itu merupakan sesuatu yang wajib maka tidak akan didahului dengan ketiadaan, ketiadaan yang mendahului adanya makhluk merupakan petunjuk bahwa keberadaannya itu bukanlah sesuatu yang wajib, bahkan merupakan sesuatu yang jaiz (boleh), (dan) bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena Alloh telah menciptakan dan mengadakannya. Maka sesuatu yang mumtani’ (terlarang) tidak dijadikan\diciptakan, maka ini menunjukan bahwa adanya makhluk merupakan wujudun jaizun (adanya itu merupakan sesuatu yang boleh), ketiadaan telah mendahuluinya, ketiadaan akan menjumpainya, kelemahan dan kekurangan akan menyertainya.
[9] Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [الرحمن] menunjukkan atas sifat yang ada pada Dzat U. Adapun [الرحيم] adalah menunjukkan pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi; Alloh U berfirman : (( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah dikatakan “ رحمانا ”. Inilah sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara keduanya.
[10] ( ال ) Alif dan lam” dalam kata الحمد adalah lil-istighroq. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa ال tersebut liljinsi, maknanya : Bahwa seluruh (jenis) pujian yang sempurna adalah bagi Alloh; Jika demikian, maka mengandung konsekwensi tetapnya segala yang dipuji dari sifat-sifat yang sempurna nan Maha Indah bagi Alloh U.
Dimanakah Alloh dipuji ?. Imam As Syanqhity rohimahulloh ketika menafsirkan surat Al Fatihah berkata : “Dalam hamd (pujian) di sini tidak disebutkan dzorof  zaman atau pun dzorof makan. Telah disebutkan dalam surat Ar Rum bahwa dzhorof makan-nya adalah langit dan bumi : “Baginyalah  pujian di langit dan di bumi”; Disebutkan pula dalam surat Al Qhosos bahwa dzhorof-nya adalah dzhorof zaman, yakni di dunia dan di akhirat, Dia U berfirman : “Dan Dia-lah Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagi-Nya lah pujian di dunia dan di akhirat.
Ragam pujian terkumpul dalam lima simpul :
  1. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam kemandirian dalam rububiyahNya yang tiada sekutu baginya; dan terpuji pula dalam jejak-jejak rububiyahNya pada seluruh makhluknya.
  2. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam uluhiyyahNya (hak-hak ketuhanan) dari seluruh makhlukNya; Dan Alloh-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tanpa sekutu di dalamya.
  3. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dikarenakan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang tinggi.
  4. Alloh jalla wa ‘ala dipuji karena syari’at, perintah dan larangan-Nya.
  5. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam ketentuan-ketentuan dan taqdir-Nya serta semua hal yang bejalan dalam sunnah kauniyahnya (hukum alam –pen).
Perbedaan Antara Hamdu dengan Madhu. Al Hamdu mengabarkan kebaikan yang dipuji dengan disertai kecintaan dan pengagungan. Sedangkan Al Madhu hanya mengabarkan saja tanpa dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan.
Perbedaan Antara hamad (pujian) dan tsana (sanjungan). Sebagian para ulama tidak membedakan antara hamd dengan tsana. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Al-hamdu adalah mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan, jika sifat kesempurnaan itu diulang maka menjadi tsana (sanjungan).
[11] (عالم) ‘aalam’, ia merupakan isim jenis, ia bisa jadi mustaq dari ‘alamah atau dari kata ‘ilmu. Keduanya merupakan makna yang bisa diterima, sebagimana diungkapkan oleh al Baghowi rohimahulloh dalam kitab tafsirnya. Jika di ambil dari yang pertama maka dikatakan : ‘Alam merupakan ‘alamah (tanda) adanya Alloh Ta’ala. Jika di ambil dari yang kedua (‘ilmu) maka dikatakan : Dengan adanya alam manusia menjadi tahu adanya Alloh subhanahu wa Ta’ala, atau : «Alloh tidak menciptakan ‘alam kecuali dilandasi ilmu yang sempurna». Kedua makna ini sahih/benar.
[12] Bila dengan hamzah maka yang dimaksud (النبيء) maka ia diambil dari (النبأ) an-naba yang berarti al khobar ‘berita ; Karena nabi dikabari dan mengabarkan, dikabari dari sisi Alloh dan mengabarkan kepada makhluk. Bila tanpa hamzah maksudnya (النبي), ia diambil dari (النبوة) yang bermakna (الإرتفاع) al irtifa’, karena nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Jadi kedua makna ini bisa dipakai. Allohu ‘alam.
[13] Yakni penegas dari kata Muhammad.
[14] Setiap orang yang pernah berkumpul dengan nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan seperti itu, walaupun pernah diselangi dengan riddah.
[15] Perkataan penulis rohimahulloh : Sesungguhnya Dia (Alloh Ta’ala) atas setiap yang dikehendakiNya Maha Mampu. Alangkah baiknya jika penulis mengatakan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » karena bebrapa alasan :
  • Perkataan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » merupakan kalimat yang Alloh sebutkan di dalam al Qur’an, misal lihat surat ath Tholaq : 21.
  • Perkataan seperti ini merupakan perkataan yang terkenal dan dipopulerkan oleh kelompok yang menyimpang. Sedangkan kewajiban kita menyelisihi penyimpangan mereka.
  • Perkataan seperti ini mengandung konsekwensi bathil, yaitu menetapkan bahwa Alloh hanya mampu mengerjakan yang Dia kehendaki, adapun yang tidak dikehendakiNya maka Alloh tidak mampu mengerjakannya. Padahal di dalam ayat Al Qur’an Alloh Ta’ala mengaitkan Maha Mampunya kepada sesuatu yang dikehendaki dan kepada yang tidak dikehendaki terjadinya, silahkan lihat surat Al An’am ayat 65). Perincian masalah ini silahkan merujuk pada penjelasan para ulama salaf dalam kitab-kitab aqidah.
  
http://hadzafadlulloh.wordpress.com/

kitab Fathul Qorib

PENGANTAR
Pujian dan sanjungan hanya hak dan milik Alloh yang telah berfirman : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam : 115). Benar dalam seluruh beritanya dan adil dalam setiap perintah dan laranganNya.
Sholawat dan salam bagi kekasih Ar Rohman; Muhammad bin Abdillah yang telah bersabda : “Barangsiapa yang dikendaki baiknya oleh Alloh Ta’ala, maka Dia Ta’ala akan memfaqihkan dia pada agama”.
Tulisan yang akan kami sajikan kehadapan pembaca merupakan kitab fiqih dalam Madzhab Imam As Syafi’i rohimahulloh, yakni kitab FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB . Kami akan tampilkan secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya saya berharap bisa memberikan gambaran secara utuh lagi umum tentang fiqih Madzhab. Amin.

Metode yang saya kerjakan sangatlah sederhana, yakni :

  1. Menterjemahkan kitab, dengan memberi tanda […] pada matan asli yakni kitab At Taqriib dan membiarkannya tanpa tanda […] untuk terjemah syarh/penjelasan.
  2. Memberi catatan pada beberapa kalimat yang Alloh Ta’ala taqdirkan mudah bagiku. Catatan ini terkadang berupa
    a. Menyebutkan pengertian dan penjelasan ringkas.
    b. Penyebutan dalil yang menjadi saksi bagi permasalahan atau pendapat tersebut.
    c. Penetapan pendapat yang kuat pada suatu permasalahan, hal ini dilakukan ketika pendapat madzhab merupakan
    pendapat lemah secara tinjuan dalil  dan alasan.
Demikian pengantar ini saya sampaikan, semoga pekerjaan ini menjadi amal sahalih bagi penulis, pensyarah, penerjemah dan seluruh pembaca. Amin.
Sholawat dan salam bagi Rosululloh, keluarga, sahabat dan seluruh manusia yang menempuh sunnah-nya. Aamiin.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikh[1] Al Imam[2] Al ‘Alim Al ‘Alamah[3] Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim As Syafi’i -Semoga Alloh melimpahkan rahmat dan keridlhoannya[4], amin- berkata :
Seluruh pujian hanya hak Alloh, memulainya dengan hamdalah karena berharap berkah, karena merupakan permulaan setiap urusan yang penting, penutup setiap puji yang diijabah, dan akhir ungkapan orang-orang mu’min di surga, kampung pahala. Aku memujiNya yang telah memberikan taufiq kepada setiap yang Dia kehendaki dari kalangan para hambanya, untuk tafaquh di dalam Agama sesuai dengan yang dikehendakiNya.  Aku bersholawat dan memohonkan keselamatan bagi makhluk termulia, Muhammad penghulu para utusan, yang bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّهُ بهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikannya maka Dia Ta’ala akan memahamkannya pada agama” (HR. Bukhori[71], Muslim[1037]), demikian pula sholawat dan salam bagi seluruh pengikut dan sahabatnya, selama ada orang-orang yang berdzikir dan adanya orang-orang yang lalai.
Kemudian, kitab ini sangatlah ringkas dan runtut, kitab ini saya berinama At Taqrib, dengan harapan para pemula bisa mengambil manfa’at dalam masalah cabang syari’at dan agama, dan supaya menjadi media bagi kebahagiaanku pada hari pembalasan, serta bermanfa’at bagi para hambanya dari orang-orang Islam. Sesungguhnya Dia maha Mendengar permintaan hambanya, Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan, orang yang memaksudkanNya tidak akan sia-sia “Jika hambaku bertanya kepada mu, maka sesungguhnya Aku sangatlah Dekat”. (QS. Al Baqoroh : 186).
Ketahuilah!, dalam sebagian naskah kitab pada muqoddimahnya terkadang penamaanya dengan AT TAQRIB dan terkadang pula dengan GHOYATUL IKHTISHOR, oleh karena itu saya pun manamainya dengan dua nama, pertama FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB, kedua AL QAUL AL MUKHTAR FI SYARHI GHOYATIL IKHTISHOR.
***
As Syaikh Al Imam Abu Thoyyib, dan terkenal pula dengan nama Abi Suja’ Syihabul millah wad dien Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Al Ashfahaniy[5] –semoga Alloh memperbanyak curahan rahmat dan keridlhoan kepadanya, dan menempatkannya di surga tertinggi– berkata:
[Bismillahirrohmaanirrohim] Aku memulai tulisan ini[6], Alloh[7] merupakan nama bagi Dzat Yang Wajib Adanya ‘wajibul wujud’[8]. Ar Rohman lebih menyampaikan daripada Ar Rohim[9].
[Al Hamdu] merupakan pujian kepada Alloh Ta’ala dengan keindahan/kebaikan disertai pengagungan[10]. [Robbi] yaitu Yang Maha Menguasai. [Al ‘Aalamin] dengan difatahkan, ia sebagimana pendapat Ibnu Malik : Kata benda jamak yang khusus digunakan bagi yang berakal, bukan seluruhnya. Kata tunggalnya ‘aalam dengan difathahkan huruf lam, ia merupakan nama bagi selain Alloh Ta’ala[11], dan jamaknya khusus bagi yang berakal.
[Dan sholawat Alloh] serta salam [atas pengulu kita, Muhammad sang Nabi] ia dengan hamzah dan tidak dengan hamzah[12] adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan syari’at yang dia beramal dengannya walaupun tidak diperintahkan menyampaikannya, maka jika diperintahkan menyampaikan maka dia Nabi dan Rosul. Maknanya curahkanlah sholawat dan salam kepadanya. Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maf’ul al mudlho’af al ‘ain. Dan Nabi merupakan badal dari[nya[13]] atau ‘athof bayan.  [Dan] bagi [keluarganya yang suci], mereka sebagaimana diungkapkan As Syafi’i : Keluarganya yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Al Mutholib, dikatakan dan An Nawawi memilihnya : Mereka adalah seluruh orang muslim. Mudah-mudahan perkataanya ath thohirin diambil dari firmanNya Ta’ala : “dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al Ahzab : 33). [Dan] bagi [para sahabatnya], ia jamak dari shohibun nabi[14]. Dan perkataanya [seluruhnya] merupakan takid ‘penegas’ dari shohabat.
Kemudian penulis menyebutkan bahwa dia menulis ringkasan ini karena suatu permintaan, dalam perkataannya : [sebagian ‘al asdhiqo’ sahabat-sahabtku memintaku], ia jamak dari shodiiq. Dan perkataanya : [semoga Alloh Ta’ala menjaga mereka], ia merupakan kalimat du’a. [supaya aku membuat suatu ringkasan], ia adalah sesuatu yang sedikit lafadznya dan banyak maknanya [dalam fiqih], ia secara bahasa bermakna pemahaman, adapun secara istilah adalah pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’iyah ‘amaliyah yang diusahakan dari dalil-dailnya yang rinci. [Madzhab Al Imam] yang mulia, mujtahid, penolong sunnah dan agama, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin Syafi’i. [Asy Syafi’i] dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan wafat [semoga kepadanya tercurah rahmat dan keridlhoanNya] hari Jum’at akhir bulan Rajab tahun 204 H.
Penulis mensifati ringkasannya dengan ragam sifat, diantaranya [pada puncak ringkasan dan akhir rangkuman] dan kata-kata al ghoyah dan nihayah memiliki kedekatan makna, demikian pula al ikhtisor dan al ijaz, diantara sifatnya pula [mendekatkan pemahaman pada pelajar] kepada cabang fiqih [untuk mempelajarinya dan mempermudah para pemula untuk menghafalnya] yakni menghadirkannya dari hafalan bagi orang-orang yang berkeinginan menghafal ringkasan ilmu fiq. [Dan] sebagian sahabat meminta pula supaya aku [memperbanyak didalamnya] yakni di dalam ringkasan tersebut [pembagian-pembagian] ahkam fiqhiyyah [dan] dari [membatasi] yakni seksama [dalam menentukan] yang wajib, mandzub dan selain keduanya. [Maka aku berkeinginan mengabulkan pada] permintaannya karena [mengharap pahala] dari Alloh Ta’ala atas usaha menulis ringkasan ini. [Harapan hanya kepada Alloh yang maha suci lagi maha tinggi] di dalam bantuan –dari keutamaanNya– untuk menuntaskan ringkasan ini, dan [harapan pula hanya kepada Alloh, untuk mendafatkan taufiq pada kebenaran], ia merupakan lawan dari salah. [SesungguhNya] Ta’ala [atas segala sesuatu yang dikehendakiNya[15]] yakni diinginkannya [Maha Mampu] yakni Maha Sanggup [dan Dia kepada para hambanya Maha Lembut lagi Maha Mengetahui] keadaan para hambanya. Yang pertama diambil dari firmanNya Ta’ala “Alloh Maha Lembut kepada para hambanya” (QS. Asy Syuro : 19), yang kedua diambil dari firmanNya Ta’ala “Dan Dia Maha Bijaksana lgi Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 18), al lathif dan al Khobir merupakan dua nama diantara nama-nama Alloh Ta’ala. Makna yang pertama ‘al lathif’ yang mengetahui segala sesuatu secara detil dan permasalahan-permasalahannya, ia kadang dimutlakan pula pada makna Maha lembut kepada mereka, maka Alloh Maha Mengetahui tentang para hambanya dan tempat-tempat kebutuhan/kehendak/keinginan mereka lagi Maha lembut kepada mereka. Makna yang kedua memiliki kedekatan makna dengan yang pertama, dikatakan : khobartu asysyaia akhbarohu fa anaa bihi khobiirun, yakni mengetahui.
***

 
[1] Syaikh merupakan masdar dari syaa-kho, dikatakan syaa-ko – yasyii-ku – syaikhon, ia secara bahasa orang yang telah melewati usia empat puluh tahun. Manusia selama berada di perut ibunya dinamakan janin, karena tersembunyi dan terhalanginya, setelah dilahirkan disebut athiflu, dzuriyyah, dan shobiy. Setelah baligh disebut syaab dan fataa. Setelah usia tigapuluh tahun disebut kahul. Setelah empat puluh tahun jika laki-laki disebut syaikh, dan bila perempuan disebut syaikhoh. Adapun secara istilah adalah orang yang telah mencapai kedudukan oranr-orang yang memiliki keutamaan, walaupun masih anak-anak. (Lihat Hasyiyah Baajuuriy Qosim, Daaru Ihya al Kutub al ‘Arobiyyah, h. 3).
[2] Secara bahasa al muttaba’ (yang diikuti), adapun secara istilah orang yang sah untuk dijadikan contoh. (ibid).
[3] Maknanya yang memiliki banyak ilmu. (ibid).
[4] Beliau wafat pada tahun 918 H.
[5] Qodiy Abu Suja lahir pada tahun 434 H (1041 M), dan wafat tahun 592 H (1197 M) semoga Alloh merahmati dan meninggikan derajatnya, Amin
[6] Penulis rohimahulloh memulai risalahnya dengan bismillah karena :
  1. Mengikuti kitab Alloh Ta’ala, ia merupakan ayat pertama dari surat al Fatihah, bagian dari surat an Naml dan merupakan ayat mustaqillah dari surat-surat yang lainnya; yakni sebagai pemisah diantara surat, kecuali antara surat al Anfal dan surat Al Baroah.
  2. Mengikuti sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, sebagimana dalam sahih al Bukhori hadits dari Abi Sufyan tentang surat baginda sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada pemdesar negeri Romwai, demikian pula hadits Miswar tentang perjanjian Hudaibiyah.
  3. Mengikuti kebiasaan para Imam dalam menulis kitab dan risalah, demikian diungkapkan Ibnu Hajar Al Asqolaniy dalam Fathul Bari Syarh Sahih Al Bukhori[6].
Adapun hadits yang menyebutkan : “Setiap urusan penting yang tidak diawali dengan bismillahirrohmanirrohim maka terputus” dan yang semakna atau semisal dengannya maka haditsnya Dlhoif/lemah. Diantara yang menghukuminya Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, As Syakhowiy dan yang lain-lainnya.
Hukum Membaca Bismillah.
Ia terbagi pada hukum yang lima :
  1. Sunnah dalam segala urusan yang memiliki nilai penting, kita tidak menyandarkannya pada hadits di atas, namun sebagai bentuk ikutan pada perbuatan Rosul dan kebiasaan para ulama; pewaris para nabi. Dan yang pertama menulis kalimat bismillahirrohmanirrohim secara lengkap pada permulaan risalah/surat nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
  2. Haram tatkala akan mengerjakan sesuatu yang haram secara dzatnya, seperti tatkala akan minum khomr/minuman memabukan, zina dan lain sebagainya. Bahkan dikhawatirkan riddahnya karena ada bentuk pelecehan pada kalimat bissmillah itu sendiri.
  3. Makruh tatkala akan mengerjakan yang makruh secara dzatnya, seperti tatkala mau merokok bagi yang berpendapat makruhnya. Atau tatkala akan melihat kemaluan istrinya menurut madzhab; namun pendapat ini lemah, akan datang penjelasannya pada Kitab Nikah insya Alloh.
  4. Wajib ketika sedang sholat, karena ia bagian dari surat al Fatihah.
  5. Mubah ketika akan mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki nilai penting, seperti ketika akan memindahkan barang dan yang lain-lainnya.
Demikianlah diantara penjelasan yang disampaikan sebagian para ulama, semoga Alloh merahmati yang telah meninggal dunia, dan menjaga yang masih di hidup di alam fana.
[7] Lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq, yakni  nama yang paling diketahui disemua tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun mengerti tentang siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta, Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah. Dikatakan pula lafadz الله  merupakan ismun ‘a-dzom, karena ia merupakan nama yang paling banyak disebutkan di dalam al Qur’an, atau karena setiap nama yang datang setelahnya merupakan sifat baginya.
[8] Sebagaimana telah diketahui oleh para pencari ilmu, tatkala kita beriman kepada Alloh maka kita menetapkan adanya Alloh Ta’ala, maka ketahuilah bahwa adanya Alloh Ta’ala wajibul wujud li dzatihi, yakni tidak didahului dengan ketiadaan dan tidak diakhiri dengan ketiadaan I. Dia Y merupakan wajibul wujud lidzatihi [ini bab khobar], berbeda dengan makhluk, karena adanya makhluk bukan-lah sesuatu yang wajib dan bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena, andaikan saja adanya makhluk itu merupakan sesuatu yang wajib maka tidak akan didahului dengan ketiadaan, ketiadaan yang mendahului adanya makhluk merupakan petunjuk bahwa keberadaannya itu bukanlah sesuatu yang wajib, bahkan merupakan sesuatu yang jaiz (boleh), (dan) bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena Alloh telah menciptakan dan mengadakannya. Maka sesuatu yang mumtani’ (terlarang) tidak dijadikan\diciptakan, maka ini menunjukan bahwa adanya makhluk merupakan wujudun jaizun (adanya itu merupakan sesuatu yang boleh), ketiadaan telah mendahuluinya, ketiadaan akan menjumpainya, kelemahan dan kekurangan akan menyertainya.
[9] Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [الرحمن] menunjukkan atas sifat yang ada pada Dzat U. Adapun [الرحيم] adalah menunjukkan pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi; Alloh U berfirman : (( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah dikatakan “ رحمانا ”. Inilah sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara keduanya.
[10] ( ال ) Alif dan lam” dalam kata الحمد adalah lil-istighroq. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa ال tersebut liljinsi, maknanya : Bahwa seluruh (jenis) pujian yang sempurna adalah bagi Alloh; Jika demikian, maka mengandung konsekwensi tetapnya segala yang dipuji dari sifat-sifat yang sempurna nan Maha Indah bagi Alloh U.
Dimanakah Alloh dipuji ?. Imam As Syanqhity rohimahulloh ketika menafsirkan surat Al Fatihah berkata : “Dalam hamd (pujian) di sini tidak disebutkan dzorof  zaman atau pun dzorof makan. Telah disebutkan dalam surat Ar Rum bahwa dzhorof makan-nya adalah langit dan bumi : “Baginyalah  pujian di langit dan di bumi”; Disebutkan pula dalam surat Al Qhosos bahwa dzhorof-nya adalah dzhorof zaman, yakni di dunia dan di akhirat, Dia U berfirman : “Dan Dia-lah Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagi-Nya lah pujian di dunia dan di akhirat.
Ragam pujian terkumpul dalam lima simpul :
  1. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam kemandirian dalam rububiyahNya yang tiada sekutu baginya; dan terpuji pula dalam jejak-jejak rububiyahNya pada seluruh makhluknya.
  2. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam uluhiyyahNya (hak-hak ketuhanan) dari seluruh makhlukNya; Dan Alloh-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tanpa sekutu di dalamya.
  3. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dikarenakan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang tinggi.
  4. Alloh jalla wa ‘ala dipuji karena syari’at, perintah dan larangan-Nya.
  5. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam ketentuan-ketentuan dan taqdir-Nya serta semua hal yang bejalan dalam sunnah kauniyahnya (hukum alam –pen).
Perbedaan Antara Hamdu dengan Madhu. Al Hamdu mengabarkan kebaikan yang dipuji dengan disertai kecintaan dan pengagungan. Sedangkan Al Madhu hanya mengabarkan saja tanpa dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan.
Perbedaan Antara hamad (pujian) dan tsana (sanjungan). Sebagian para ulama tidak membedakan antara hamd dengan tsana. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Al-hamdu adalah mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan, jika sifat kesempurnaan itu diulang maka menjadi tsana (sanjungan).
[11] (عالم) ‘aalam’, ia merupakan isim jenis, ia bisa jadi mustaq dari ‘alamah atau dari kata ‘ilmu. Keduanya merupakan makna yang bisa diterima, sebagimana diungkapkan oleh al Baghowi rohimahulloh dalam kitab tafsirnya. Jika di ambil dari yang pertama maka dikatakan : ‘Alam merupakan ‘alamah (tanda) adanya Alloh Ta’ala. Jika di ambil dari yang kedua (‘ilmu) maka dikatakan : Dengan adanya alam manusia menjadi tahu adanya Alloh subhanahu wa Ta’ala, atau : «Alloh tidak menciptakan ‘alam kecuali dilandasi ilmu yang sempurna». Kedua makna ini sahih/benar.
[12] Bila dengan hamzah maka yang dimaksud (النبيء) maka ia diambil dari (النبأ) an-naba yang berarti al khobar ‘berita ; Karena nabi dikabari dan mengabarkan, dikabari dari sisi Alloh dan mengabarkan kepada makhluk. Bila tanpa hamzah maksudnya (النبي), ia diambil dari (النبوة) yang bermakna (الإرتفاع) al irtifa’, karena nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Jadi kedua makna ini bisa dipakai. Allohu ‘alam.
[13] Yakni penegas dari kata Muhammad.
[14] Setiap orang yang pernah berkumpul dengan nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan seperti itu, walaupun pernah diselangi dengan riddah.
[15] Perkataan penulis rohimahulloh : Sesungguhnya Dia (Alloh Ta’ala) atas setiap yang dikehendakiNya Maha Mampu. Alangkah baiknya jika penulis mengatakan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » karena bebrapa alasan :
  • Perkataan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » merupakan kalimat yang Alloh sebutkan di dalam al Qur’an, misal lihat surat ath Tholaq : 21.
  • Perkataan seperti ini merupakan perkataan yang terkenal dan dipopulerkan oleh kelompok yang menyimpang. Sedangkan kewajiban kita menyelisihi penyimpangan mereka.
  • Perkataan seperti ini mengandung konsekwensi bathil, yaitu menetapkan bahwa Alloh hanya mampu mengerjakan yang Dia kehendaki, adapun yang tidak dikehendakiNya maka Alloh tidak mampu mengerjakannya. Padahal di dalam ayat Al Qur’an Alloh Ta’ala mengaitkan Maha Mampunya kepada sesuatu yang dikehendaki dan kepada yang tidak dikehendaki terjadinya, silahkan lihat surat Al An’am ayat 65). Perincian masalah ini silahkan merujuk pada penjelasan para ulama salaf dalam kitab-kitab aqidah.    Dinuqil : http://hadzafadlulloh.wordpress.com/

Jumat, 15 April 2011

Minggu, 03 April 2011

10 Etika Bathiniah Ibadah Haji

10 ETIKA BATINIAH IBADAH HAJI


Dalam bukunya "Rahasia Haji" dan juga Kitab "Ihya Ulumiddin" juz 1,  Al-Ghazali menyebutkan  sepuluh etika adab-adab batiniah ibadat haji :

  • Pertama, hendaklah ia berhaji dengan harta yang halal. Ia harus meninggalkan perhatian akan urusan pekerjaan dan bisnisnya. Ia harus mencurahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menubuatkan jenis-jenis haji pada akhir zaman : "Pada akhir zaman nanti, manusia yang keluar untuk ibadat haji terdiri dari empat  macam : Para pejabat haji untuk pesiar, para pedagang untuk berniaga,  orang miskin untuk mengemis, dan para ulama untuk kebanggaan."

  • Kedua, hendaklah ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas  oleh orang-orang yang mengganggu jemaah haji. Tentang hal ini, Al- Ghazali menyebutkan para perompak zaman dahulu yang merampok jemaah  haji di perjalanan. Ia mengutip pendapat para ulama bahwa labih baik  meninggalkan sunnat haji daripada mendukung kedzaliman.

  • Ketiga, hendaklah ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum  yang mewah atau membeli kelezatan-kelezatan di perjalanan. Ia harus  banyak menggunakan hartanya untuk bersedekah, menolong orang lain,  atau memberikan bekal kepada teman seperjalanan, dengan hati yang  betul-betul tulus murni karena mengharap Ampunan dan Ridho Allah SWT.

  • Keempat, hendaklah ia meninggalkan segala macam akhlaq tercela, yaitu  kekejian (kedzaliman) dan kefasikan, serta perdebatan dan perbantahan  sekecil apapun. Yang termasuk ke dalam kekejian adalah : berkata  kotor, bohong, kasar, atau yang menusuk perasaan meski sehalus  apapun. Juga memfitnah dan menipu.

  • Kelima, diutamakan memperbanyak berjalan. Barangkali dengan  meninggalkan Arafah dan menuju Mina dengan berjalan kaki daripada  dengan kendaraan. Sebab dengan berjalan kaki, ia akan sempat tidur di  Muzdalifah, dan pagi-pagi berangkat menuju Mina. Sudah bisa dipastikan, mereka akan tiba di Mina lebih cepat daripada yang  menyewa kendaraan.

  • Keenam, karena berkaitan dengan jenis kendaraan masa lalu, maka kami  tidak menuliskannya di sini.

  • Ketujuh, hendaklah ia berpakaian sederhana, dan meninggalkan tanda- tanda kesombongan dan kemewahannya. Haji dimaksudkan untuk  membesarkan dan mengagungkan Allah SWT, dan mengecilkan serta  merendahkan diri kita manusia.

  • Kedelapan, hendaklah merawat unta yang dipergunakan dengan sebaik- baiknya dan penuh kasih sayang.

  • Kesembilan, hendaklah memenuhi kewajiban berkurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin dengan hati yang tulus  murni (ikhlas) untuk Allah, bukan dengan maksud riya' (pamer).

  • Kesepuluh, hendaklah ia selalu bersabar menerima musibah yang menimpa  tubuhnya atau bila ia kehilangan hartanya.

Rahasia Haji dari Al-Ghazali sebetulnya menggambarkan perspektif  sufi.  Ratusan tahun sebelum Al-Ghazali lahir, Ja'far Ash Shiddiq  r.a, seorang tokoh besar dalam dunia tasawuf (sufi besar) memberikan  nasihat kepada para jemaah haji :

"Jika engkau berangkat haji, kosongkanlah segenap hatimu dari  segala urusan. Hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah SWT.  Tinggalkan setiap penghalang dan hambatan ; dan serahkan segenap  urusanmu kepada Penciptamu. Bertawakkallah kepada-Nya dalam setiap  gerak dan diammu. Berserah dirilah kepada setiap ketentuan-ketentuan-Nya, hukum-hukum-Nya, takdir-Nya. Tinggalkan dunia, kesenangan, dan  seluruh makhluk (segala sesuatu selain Allah). Keluarlah engkau dari  kewajiban yang dibebankan kepadamu dari setiap makhluk Tuhan.  Janganlah engkau bersandar kepada bekalmu, kendaraanmu, sahabatmu,  saudaramu, kekuatanmu, kemudaanmu, dan kekayaanmu.

Buatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi.  Bergaullah dengan baik. Jaga waktu-waktu dalam melaksanakan kewajiban  yang telah ditetapkan Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW berupa : adab, kesabaran, syukur, kasih sayang, kedermawanan, dan mendahulukan (kepentingan) orang lain. Bersihkan dosa-dosamu dengan air taubat yang betul-betul ikhlas.

Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati, dan  kekhusyu'an. Berihramlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang  menghalangi kamu dari mengingat Allah dan mencegahmu mentaati-Nya.  Bertabiahlah kamu dengan menjawab panggilan Allah dengan keikhlasan, suci dan bersih dalam setiap doa-doa kamu, seraya tetap berpegang kepada tali yang kokoh.

Bertawaflah dengan segenap hatimu bersama para malaikat di  sekitar 'Arasy, sebagaimana kamu bertawaf dengan jasadmu bersama  manusia di sekitar Baitullah. Keluarlah engkau dari kelalaianmu dan  ketergelinciranmu ketika engkau keluar dari Mina. Janganlah  mengharapkan apapun yang tidak halal dan tidak layak bagimu.

Akuilah segala kesalahan di tempat pengakuan (Arafah).  Perbaharuilah janjimu di depan Allah SWT dengan mengakui segala ke- ESA-an-Nya. Mendekatlah selalu kepada Allah SWT ketika di Muzdalifah.  Sembelihlah tengkuk hawa nafsu dan kerakusan ketika engkau menyembelih hewan kurban. Lemparkanlah syahwat, kerendahan,  kekejian, dan segala perbuatan tercela ketika melempar Jamarah  (Jumrah).

Cukurlah aib-aib lahir (kotoran) dan batinmu (dosa) ketika  mencukur rambut. Tinggalkan kebiasaanmu yang selalu menuruti  kehendakmu, dan masuklah kepada perlindungan ke Masjid Al-Haram.  Berputarlah di sekitar Baitullah dengan sungguh-sungguh mengagungkan Pemiliknya dan menyadari Kebesaran dan Kekuasaan-Nya. Beristilamlah  kepada Hajar Aswad dengan penuh keridhoan atas setiap Ketentuan Allah dan merendahkan dirilah engkau di hadapan Kebesaran-Nya. Tinggalkanlah apa saja selain Allah dalam hatimu ketika engkau tawaf perpisahan. Sucikan batinmu untuk menemui DIA pada hari pertemuan dengan DIA, ketika kau berdiri di Shafa. Tempatkan dirimu pada  pengawasan Allah dengan membersihkan seluruh perilakumu di Marwah."
kunjungi juga   :     
http://www.hajiumroh.com/